Senin, 27 Juni 2011

PERJALANAN BACKPACKER

WISATA MACAU, HONGKONG, DAN SHENZHEN BAGIAN 2
Wisata Gaya Backpacker

Pada pukul 12.00 kami checkout hotel dan berangkat ke Macau Ferry Terminal dengan menggunakan free shuttle bus dari hotel.  Kami memilih ferry yang dioperasikan oleh Turbojet menuju dermaga di Sheung Wan Hongkong Island dengan harga tiket 140 MOP.  Meskipun Macau dan Hongkong termasuk wilayah Macau, namun untuk ke luar Macau harus dilakukan pemeriksaan  imigrasi.  Pemeriksaan imigrasi dilakukan sebelum memasuki ruang tunggu keberangkatan ferry ke Hongkong. Perjalanan ferry dari Macau ke Hongkong memakan waktu selama sekitar 1 jam.  Sepanjang perjalanan cuaca agak berkabut, sehingga visibilitas hanya terbatas pada jarak beberapa ratus meter saja.  Mungkin karena lelah dan sengaja memanfaatkan waktu untuk istirahat, kami terbangun saat ferry menurunkan daya mesinnya dan di depan sudah terlihat gedung-gedung pencakar langit sebagai ciri khas kepulauan Hongkong.  Setelah sampai di dermaga ferry Sheung Wan kami menuju ke stasiun MTR Sheung Wan yang ternyata jaraknya dekat untuk naik MTR menuju ke Tsim Sha Tsui.  MTR (Mass Transit Railway), yaitu kereta api yang melintas di bawah tanah termasuk di bawah dasar laut,  yang menghubungkan  89 stasiun di seluruh wilayah Hongkong.  Tempat penginapan kami yaitu  Maple Leaf Guesthouse yang berdekatan dengan stasiun MTR Tsim Sha Tsui di kawasan Kowloon, sedangkan terminal terakhir ferry ini ada di Sheung Wan yang berada di Hongkong Island.  Setelah sampai Sheung Wan dan mengalami pemeriksaan imigrasi untuk masuk Hongkong, kami menuju ke stasiun MTR Sheung Wan untuk menuju ke stasiun Central.  Pembelian tiket dilakukan secara mandiri melalui mesin penjual tiket (ticket vending machine), yang secara otomatis tiket dan uang kembali akan keluar setelah kita pencet stasiun tujuan dan uang pembayaran tiket.  Selanjutnya dari stasiun Sentral ganti MTR yaitu Tsuen Wan line (jalur Tsuen Wan) dan berhenti di stasiun Tsim Sha Tsui.  Sesuai arahan dari manajer Mapple Leaf Guesthouse,  kami menuju ke exit E dan setelah mencapai jalan Napthan dibawah layar TV besar di situ kami temukan Chungking Mansiun dimana hostel berada.  Sekitar pukul 14.00 kami sampai di Mapple Leaf Guesthouse.  Posisi Gueshoust sangat strategis, karena berada di pusat perbelanjaan dan sangat dekat dengan  stasiun MTR Tsim Sha Tsui.  Ukuran  kamar hostel (nama hotel berskala kecil) sangat sempit, karena tidak lebih dari 3 X 2.5 m lengkap dengan kamar mandi dalam,  dan dua bed tempat tidur ukuran 2 X 0.8 m.  Meskipun sempit, tetapi fasilitasnya cukup lengkap antara lain TV, meja lengkap dengan pesawat telepon, AC.  Kamar mandi lengkap dengan wastafel, shower, dan pemanas air, serta fasilitas WIFI.  Coba bayangkan kira-kira sesempit apa ruangan tersebut.  Bahkan untuk sholatpun kami lakukan tidak bisa dengan berdiri, melainkan dengan cara duduk.  Masalah kiblat dalam ibadah sholat, sudah nggak perlu lagi diperdebatkan.  Bertanya orang di Hongkong tentang hal-hal yang tidak biasa bagi mereka, pasti memperoleh jawaban yang tidak memuaskan.  Ruangan yang sangat sempit ini, sekaligus menggambarkan bahwa di Hongkong tanah demikian mahal. Saya hanya berhandai-handai, jika seandainya rumah saya di Yogya bisa dipindah di Hongkong, mungkin langsung jadi kaya raya mendadak hanya dari menyewakan rumah.  Karena sempitnya ruangan ini sampai saat tidur saya bermimpi kejatuhan TV dan kejepit koper, haa …haa …haa.  
Sesuai dengan jadwal yang kami buat, sore ini kami akan ke Peak Victoria dan museumnya si Madam Tsutau.  Kami berangkat sekitar 15.30 ke stasiun Tsim Sha Tsui (TST) menuju Central yang ditempuh dalam waktu 5 menit.  Jika ditambah dengan jalan kaki dari hostel ke TST dan lama menunggu MTR, mungkin dari hostel ke Central hanya 15 menit.  Selanjutnya kami menuju Peak Tram Statiun yang berjarak lumayan jauh.  Sebenarnya kalau langsung tahu tempatnya, jarak tersebut mungkin bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 15 menit.  Namun karena pakai bingung segala, akhirnya kami baru bisa sampai hampir setengah jam.  Perjalanan ke stasiun Peak Tram cukup rumit, meskipun ada penunjuk arah.  Tapi karena penunjuk arah tidak terlihat sejak keluar dari stasiun Central, dan juga banyaknya belokan, maka ya pakai bingung segala.  Tanya orang Hongkong termasuk Polisi kurang begitu baik memberikan arahan. Mungkin faktor bahasa, karena banyak yang tidak bisa berbahasa Inggris, atau dialek Inggrisnya sulit ditangkap.  Bahkan ada beberapa yang menolak untuk ditanya, pada saat kami bertanya dengan bahasa Inggris sopan : “Let me know where the Peak Tram Statiun is?  Begitu denger kata “let me know” biasanya dia langsung menggerak-gerakan tangan sambil geleng-geleng kepala, yang mengisyaratkan tidak mau ditanya.   Dengan alasan itu isteri saya bilang : “Udah gak usah pakai let me know let me know-an segala”. Langsung saja tanya : “Peak Tram”?   Ternyata pertanyaan singkat tersebut lebih efektif dari pada menggunakan pertanyaan panjang.  Tapi akhirnya kami tertolong oleh seorang warga Amerika yang paham betul lokasi stasiun Peak Tram, karena berseberangan dengan kantor kedutaan Amerika Serikat.    
Akhirnya kami sampai di stasiun Peak Tram, dan tram dari stasiun ini hanya menuju ke Peak Victoria.  Peak tram merupakan alat transportasi kuno yang dioperasikan mulai tahun 1888.  Pada saat awal operasinya, tram menggunakan tenaga dorong berupa mesin uap dengan bahan bakar batu bara.  Peak tram yang ada saat ini sudah menggunakan teknologi kendali mikroprosesor dan telah ditingkatkan kapasitasnya dari 72 menjadi 120 penumpang.  Menurut catatan tidak kurang dari 3 juta orang pertahun  menggunakan Peak Tram ini untuk sekedar melihat panorama indah pulau Hongkong dari ketinggian puncak Victoria.  Harga tiket tram untuk perjalanan bolak balik sebesar 40 HKD.  Sebelum berangkat dilakukan pemotretan, dan ternyata hasil pemotretan tersebut dijual seharga 350 HKD dengan ditambah beberapa souvenir.  Mau beli atau tidak foto tersebut, hukumnya adalah sunah.  Dibeli bagus untuk kenangan, tidakpun nggak apa-apa.  Apalagi turis gaya “backpacker” seperti kami ini, segala pengeluaran tentu dengan pertimbangan masak-masak.  Akhirnya kami putuskan untuk tidak membeli, dengan terlebih dahulu menyampaikan “I am sorry” ke tukang fotonya.  Suatu pengalaman yang sangat menarik, yaitu mengendarai tram dengan sudut tanjakan yang cukup terjal.  Dalam perjalanan kami bisa melihat  panorama menarik khususnya di sebelah kanan tram, berupa deretan gedung-gedung tinggi yang gemerlapan yang terpancar dari gedung-gedung tinggi tersebut.   Perjalanan menuju Peak Victoria tidak terlalu lama,  paling hanya sekitar 10 menit.  Begitu turun dari tram, kami melanjutkan agenda perjalanan yang sudah kami rencanakan, yaitu melihat koleksi nenek Tussauds berupa patung lilin, dengan harga tiket 160 HKD. 
Bermain golf dengan Tiger Wood
Disini kita temui patung para pemimpin berbagai negara, orang-orang terkenal, termasuk para selebretis dari Cina Hongkong khususnya.  Agak berbeda dengan patung lilin yang pernah kami lihat di Madame Tussauds di Amsterdam, di Hongkong tidak kita temukan orang terkenal dari Indonesia.   Madame Tussauds di Amsterdam, kita bisa menemukan pahlawan Indonesia antara lain Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Pressiden Sukarno.  Mungkin karena Belanda pernah menjajah Indonesia kali ya? Dari patung-patung orang populer di museum ini,  yang paling banyak digunakan sebagai background berfoto ria adalah presiden Amerika Serikat yaitu Barack Obama.  Bahkan di situ ada tukang foto yang menjual jasa untuk memotret siapa saja yang menginginkan.  Setelah berpuas-puas melihat patung demi patung, kami meninggalkan museum Madame Tussauds.  Sebenarnya masih ada satu obyek lagi di peak Victoria ini, yaitu Terrace of Victoria.  Dari namanya, jelas bahwa tempat tersebut merupakan lantai tertinggi dari bangunan dimana Madame Tussauds berada, sehingga kita dapat melihat panorama Hongkong dari kedudukan yang paling tinggi.  Kami meninggalkan Peak Victoria menjelang senja dengan menggunakan tram yang sama dengan saat mendaki, hanya dalam perjalanan turun ini bangku tempat duduk dalam tram pada posisi yang membuat kami berjalan mundur.  Setelah sampai stasiun Peak Tram, kami melanjutkan perjalanan pulang dengan tidak menggunakan MTR melainkan dengan Star Ferry.  


Star ferry dengan berlatar gedung-gedung tinggi
Kami ikuti saja petunjuk arah Star Ferry dengan berjalan kaki, yang jaraknya cukup lumayan.  Star Ferry adalah transportasi laut di Hongkong yang sudah cukup kuno, yang menghubungkan Hongkong Island dan Kowloon.  Meskipun kapal ferry ini sudah nampak tua dan bau solar agak menyengat, namun sarana transportasi ini sangat diminati para turis karena bisa menikmati gemerlapan cahaya lampu dari gedung-gedung tinggi baik yang ada di Hongkong Island dan Kowloon. Karena itu disarankan untuk menggunakan jasa penyeberangan ini pada saat malam atau menjelang malam.  Biaya untuk naik ferry cukup murah, yaitu 2,5 HKD.  Sampai di Tsim Sham Tsui sudah malam, dan perut terasa lapar.  Sebagai muslim yang berusaha untuk makan jenis makanan yang halal, maka kami menjaga diri untuk tidak makan di sembarang tempat, karena ini sangat beresiko.  Oleh karena itu kami mencari tempat makan yang sudah mendunia saja yaitu Mac Donald, dan di sana beli cukup kentang goreng dan ayam.   Selesai makan, waktu sudah menunjukkan pukul 19.30.  Sebenarnya kami ingin ke Evenue of Star untuk melihat atraksi Simphony of Light.  Konon katanya bahwa Simphony of Light merupakan atraksi sinar laser yang diperagakan dari gedung-gedung tinggi di Hongkong.  Tempat yang paling ideal untuk melihat Simphony of Light adalah di jalan Avenue of Star yang letaknya di tepi pantai.   Namun setelah tanya kepada seseorang tentang jalan yang  menuju tempat tersebut, tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, akhirnya kami putuskan untuk kembali ke hostel saja.  Begitu sampai di hostel, baru terasa bahwa badan sudah lelah dan ngantuk.  Namun ada beberapa tugas yang belum saya selesaikan untuk urusan sekolah dan kantor.  Syukur alhamdulillah di hostel ada WIFI, sehingga kami bisa mengirim beberapa tugas melalui e-mail.  Wah hidup ini menjadi demikian mudah dengan menggunakan IT, sehingga soal ujian bisa dikirim dengan cepat dan mudah dari Hongkong ke Indonesia. 
Hari ke 3 yaitu Rabu 20 April merupakan agenda padat, karena ada 2 kunjungan, yaitu ke Ngoping Village dan Disneyland. Pukul 03.30 kami sudah terbangun, karena berarti di Indonesia sudah waktu Subuh (pukul 04.30).  Pada pukul 08.00 kami sudah berangkat menuju ke stasiun Tsim Sha Tsui, untuk menuju stasiun Tung Chung.  Dari stasiun Tsim Sha Tsui menggunakan jalur Tsuen Wan kemudian berhenti Lai King, terus ganti kereta jalur Tung Chung.  Selanjutnya begitu sampai stasiun Tung Chung langsung menuju exit B, dan kita akan dipandu oleh penunjuk arah menuju ke Tung Chung Cable Car Terminal.  Jarak antara stasiun MTR Tung Chung dengan Thung Chung Cable Car Terminal cukup dekat hanya sekitar 200 m.  Pada hari itu adalah Rabu, tetapi ternyata antrian untuk mendapatkan tiket cukup panjang.  Dalam hati mengagumi bahwa Hongkong memang hebat, ternyata memang pulau ini betul-betul terdepan dalam hal wisata.  Obyek wisata yang akan dikunjungi adalah Ngong Ping 360 yang berada di Lantau Island.  Untuk mencapai ke sana menggunakan Ngong Ping Cable Car (kereta gantung), yang berangkat dari Tung Chung Cable Car Terminal menuju ke Ngong Ping Cable Car Terminal.  Di puncak Ngong Ping merupakan tempat berdirinya Biara Po Lin dan Patung Budha Tian Tan sebagai patung Budha tertinggi di dunia. Kabel yang digunakan untuk kereta gantung sepanjang 5.7 km, serta ditunjang oleh 8 buah menara termasuk yang ada Tung Chung Cable Car Terminal dan Ngong Ping Cable Car Terminal.  Ada dua jenis kereta gantung yang ditawarkan, yaitu jenis “standard cabin” dan “crystal cabin”. 

Cable Car di Tung Chung Lantau Island
Perbedaannya bahwa kabin kristal berlantai kaca, sehingga penumpang bisa melihat pemandangan yang ada di bawah langsung.  Tentu saja kabin ini tidak cocok bagi mereka yang berpenyakit “hayub-hayuben” atau “singunen” takut ketinggian alias “altitude phobia”.  Untuk kabin standard tiket pulang pergi sebesar 176 HKD, dan ada  pertunjukan gratis di Ngong Ping yaitu Walking with Buddha dan the Monkey’s Tale Theatre.  Sebagai “backpacker” maka pasti kami memilih kabin standard, karena paling tidak beda tiket antara kabin kristal dan kabin standard adalah 50 HKD.  Nah pengalaman kami mengunjungi Ngong Ping sungguh luar biasa.  Pemandangan dari atas ke panorama di bawah sangat luar biasa, atau kalau boleh pinjam istilahnya Tukul Arwana “is amazing”.   Pemandangan di bawah terdiri dari perpaduan laut, gunung, taman, bangunan-bangunan tinggi, yang membentuk harmonisasi yang mengagumkan.  Dalam hati saya memuji kehebatan Cina dalam mengelola potensi alamnya untuk dijual sebagai obyek wisata yang aduhai.   Bahkan dari ketinggian, kita bisa menyaksikan hiruk pikuknya pesawat tinggal dan lepas landas dari bandara yang cukup sibuk yaitu Hongkong International Air Port yang terletak di pulau Lantau ini.  Ada alternative jalan menuju Ngong Ping ini, khususnya bagi yang mempunyai kesamaptaan jasmani prima, yaitu berjalan bertrap-trap.   Dari cabin yang menggelantung pada dua utas kabel, terlihat ada beberapa orang meunju Ngong Ping dengan jalan kaki melalui trap-trap tersebut. Mendekati pukul 14.00 kami mulai meninggalkan Ngong Ping, namun sebelum kembali kami menyaksikan pentas musik di arena sebelum keluar dari Ngong Ping Cable Terminal.   Setelah cabin yang kami tumpangi mendarat di terminus (terminal terakhir) yaitu di Tung Chung Cable Car Terminal, terasa perut sudah terasa lapar, karena tadi hanya makan popcorn dan minum air mineral.  Agar kami makan dengan agak merasa aman (“tidak takut makanan yang dipantang”), maka kami makan pizza  tidak jauh dari Tung Chung Cable Car Terminal.   Energi seperti terkumpul kembali setelah selesai makan siang, maka kami melanjutkan agenda selanjutnya yaitu ke Disneyland.  Dari stasiun MTR Tung Chung menuju stasiun berikutnya yaitu Sunny Bay, terus ganti MTR yang menuju ke Disneyland.  Ada ciri khusus untuk MTR yang menuju Disneyland, yaitu  kaca jendelanya berbentuk kepala Mickey Mouse termasuk pegangan tangan di dalam MTR. 

MTR ke Disneyland dengan kaca jendela berkepala Mickey
Disneyland Hongkong berlokasi di daerah reklamasi di teluk Penny Lantau Island.  Taman Disneyland dibuka pertama kali pada 12 September 2005 yang terdiri dari 4 area, yaitu Main Street USA, Fantasyland, Adventureland, dan Tomorrow Land.   Pada saat exit dari stasiun Disneyland kita langsung sampai pintu gerbang dengan tulisan “Welcome Hongkong Disneyland Resort” sebagai bangunan terdepan dari suatu area Disneyland yang sangat luas dengan tata taman yang sangat bagus.     
Pintu gerbang Disneyland

Untuk menuju ke area Disneyland, kita menyusuri dari  pintu gerbang melalui jalan yang sangat lebar dengan pepohonan yang tertata apik dan asri.   Pengunjung Disneyland Hongkong tidak kurang dari 4,5 juta orang  setiap tahun.  Tiket masuk Disneyland 350 HKD, dan dengan tiket tersebut kita bisa menikmati semua atraksi yang ada.   Kami sampai di Disneyland menjelang pukul 16.00, namun masih terasa cukup panas karena matahari tenggelam mendekati pukul 19.00.  Ternyata pada jam tersebut langsung disuguhi dengan karnaval  yang melewati sepanjang  Main Street USA.  Karnaval dari berbagai kendaraan hias dengan penampilan berbagai tokoh karakter film kartun seperti Mickey Mouse, Donald Bebek, Goofy, Pluto  dan lain-lain berlangsung sangat meriah.   Jalan-jalan sepanjang Main Street USA berubah menjadi lautan manusia.   Dalam hati saya memuji kehebatan China dalam memajukan dunia wisata. Meskipun saat itu hari Rabu, namun tempat wisata ini cukup padat pengunjung. 

Karnaval di Main Street USA di Disneyland
Selesai menikmati tontotan karnaval, kami melanjutkan perjalanaan berkeliling taman Disneyland dengan menggunakaan tram.  Sebenarnya kalau ingin bisa menikmati banyak atraksi yang ada di taman Disneyland ini, harus meluangkan waktu lebih banyak.  Jumlah pengujung yang sangat banyak, membuat antrean untuk setiap atraksi cukup panjang.  Keberadaan kami selama sekitar 4 jam, hanya mencoba beberapa atraksi antara lain  Dumbo The Flying Elephant, Mickey’s Philhar Magic, Space Mountain, dan Stitch Encounter.   Selanjutnya pada pukul 19.30 kami sudah beranjak ke area di ujung Main Street USA untuk menyaksikan atraksi sinar laser, dan pada pukul 20.00 di tempat yang sama diselenggarakan atraksi kembang api dan laser.  Pesta kembang api merupakan acara yang paling ditunggu oleh seluruh pengunjung Disneyland.  Acara kembang api berlangsung super meriah, yang menyuguhkan atraksi yang sangat menarik yang merupakan perpaduan antara kembang api, sinar laser, musik/lagu dan narasi.  Pesta kembang api, merupakan acara terakhir yang kami nikmati dan kemungkinan juga merupakan acara terakhir yang disuguhkan di Disneyland ini.  Hal ini terbukti karena setelah acara kembang api berakhir, para pengujung secara serentak menuju ke pintu ke luar Disneyland.  Pada saat itu saya sempat berpikir bahwa kami akan berdiri mengantri berlama-lama,  untuk tujuan yang sama yaitu naik MTR ke stasiun Sunny Bay.  Ternyata dugaan saya sama sekali tidak benar.

Salah satu stand di area Tomorrow Land

Memang penumpang cukup padat, namun kami tidak perlu berebut atau berdesakan saat masuk MTR, termasuk saat tadi membeli tiket.   Sedikit cerita tentang transportasi di Hongkong, bahwa jenis yang digunakan cukup beragam yaitu kereta listrik, bus, tram, ferry, dan taksi. Yang disebut MTR sebenarnya adalah nama korporasi yang mengelola kereta api bawah tanah. Disamping MTR ada juga KCR (Kowloon-Canton Railway Corporation) yang juga mengelola jaringan transportasi kereta api. Namun orang menyebut kereta tersebut dengan nama MTR atau KCR.  Misalnya kereta yang menghubungkan Hunghom ke Lowu yang merupakan stasiun terakhir (terminus) di wilayah Hongkong  sebelum masuk ke Shenzhen, mereka menyebut KCR karena dikelola oleh KCR corporation.  Kehandalan dan kenyamanan MTR atau KCR sebagai transportasi massa memang luar biasa. Kereta yang dikendalikan secara komputer ini datang di setiap stasiun dengan interval waktu sekitar 2, 3, 4, 5, atau 6 menit tergantung dari tingkat intensitas kepadatan penumpang.  Kehandalan dan ketepatan waktu dating dan berangkat bisa dibilang 99.99 persen.  Meskipun orang China sulit berbahasa Inggris, namun tanda-tanda visual dan verbal di MTR ini sangat membantu.  Posisi kita dimana dan akan kemana dapat dilihat dengan gampang melalui bagan jaringan stasiun yang terpasang di atas pintu keluar/masuk MTR.  Nama-nama stasiun yang sudah dilewati diberi warna lampu biru, sedangkan yang akan dilewati berwarna lampu merah. Dengan demikian kita tinggal menandai berapa stasiun yang harus kita lewati untuk turun di stasiun tujuan kita. Selain itu selalu diumumkan melalui sound system dalam dua bahasa yaitu Mandarin dan Inggris pada saat MTR akan berangkat atau akan berhenti, berupa pemberitahuan nama stasiun tempat berangkat dan stasiun berikutnya.  Jadi kalau sampai ada penumpang yang kebablasan dari stasiun yang dituju, mungkin penumpang tersebut tidur atau melamun.  Tetapi rasanya tidak pernah ada penumpang yang tertidur di MTR, mungkin dianggap nggak biasa kali ya?  Pengoperasian MTR atau KCR juga sangat efisien, karena mulai pembelian tiket dilakukan dengan mesin penjual tiket (ticket vending machine), masuk kereta melalui pintu otomatis yang dioperasikan dengan tiket elektronik yang kita beli, termasuk juga pada saat keluar stasiun.   Disamping itu petugas kereta yang panjangnya sekitar 8 sampai dengan 10 gerbong tersebut  hanya diawaki 1 orang sebagai pengemudi. Meskipun pengemudi disini barangkali tidak dalam arti sesungguhnya, karena MTR ini dikendalikan dengan sistem komputer yang canggih. Dengan kehandalan dan kenyamanan jenis transportasi ini, maka masyarakat Hongkong tidak terlalu suka memiliki mobil pribadi.  Buat apa punya mobil yang harus bayar pajak, bayar parkir, dan lebih repot lagi garasinya di mana? Bukan berarti orang Hongkong tidak punya uang, karena Hongkong sebagai wilayah otonomi tercatat sebagai urutan ke 7 negara/wilayah terkaya di dunia.  Namun kepadatan penduduk Hongkong yang konon 6254 orang per kilometer persegi, tentu peruntukan lahan harus dipertimbangkan untuk manfaat yang lebih besar.  Dari pengamatan kami terhadap setiap 10 kendaraan yang melintas di jalan raya, hanya sekitar 2 atau 3 kendaraan pribadi.  Selebihnya adalah kendaraan transportasi massa, seperti bus tingkat dan microbus serta kendaraan pengangkut barang misalnya truk. Dari sistem transportasi yang sangat handal dan nyaman di Hongkong ini, saya pikir banyak manfaat yang ditimbulkan.  Pertama, meskipun jalan padat dengan manusia, namun jalan jarang sekali macet karena mereka menggunakan tranportasi massa. Selain itu MTR menggunakan fasilitas rel di bawah tanah (subway), sehingga tidak menambah kepadatan lalu lintas. Menurut data bahwa jumlah penumpang pengguna jasa MTR perhari sekitar 2,3 juta orang dari 6,8 juta jumlah penduduk Hongkong.  Ke dua, dalam hal pemakaiaan energi pasti lebih efisien, karena penggunaan transportasi massal secara akumulatif jauh lebih efisien dari pada mereka  menggunakan kendaraan pribadi.  Ke tiga, dengan pemakaian energi yang lebih sedikit akan berpengaruh dalam upaya meminimalkan efek rumah kaca yang berarti ikut menyelamatkan bumi kita akibat dari global warming. Ke empat, masyarakat pengguna MTR banyak berjalan kaki dalam menuju ke atau dari stasiun MTR, sehingga masyarakat China khususnya Hongkong rata-rata berbadan ramping dan sehat. Ke lima, pembentukan budaya yang disiplin, karena banyaknya alternatif transportasi di Hongkong, membuat aturan lalu lintas di Hongkong bisa ditegakkan dengan baik. Padahal kedisiplinan berlalu lintas akan membantu penciptaan disiplin nasional secara keseluruhan.  Bandingkan dengan kondisi lalu lintas di tanah air.  Dengan minimnya fasilitas lalu lintas yang disediakan negara, maka polisipun tidak mampu menegakkan aturan berlalu lintas dengan baik. Misalnya untuk menghindari macet di jalur lambat, sepeda motor dengan enaknya melintas di jalur cepat yang sebenarnya sangat membahayakan. Tanda “Belok Kiri Jalan Terus” tidak bisa berfungsi, karena jalurnya dipenuhi beratus-ratus sepeda motor. Melihat seperti itu polisi tidak bisa berbuat apa-apa. Jika pembiaran seperti ini berlanjut, maka  akan menyebabkan berkembangnya ketidakdisiplinan masyarakat dalam berlalu lintas. Selanjutnya  diakui atau tidak, ketidakdisiplinan masyarakat dalam berlalu lintas dapat mempengaruhi ketidakdisiplinan dalam banyak aspek. Saya termasuk salah satu warga negara yang menaruh kekhawatiran besar, terhadap semakin menurunnya  kedisiplinan masyarakat bangsa kita akibat ketidakdisiplinan dalam berlalu lintas.
Wah ini kok ngelantur kemana-mana ya? Namun apa yang kami saksikan hari ini baik keindahan alam Ngong Ping Village dan atraksi-atraksi yang disuguhkan secara bagus di Disneyland Park, serta rasa “nelongso” melihat negeri sendiri khususnya dalam ketidakdisiplinan berlalu lintas dan rasa lelah yang menyertainya, telah mengantarkan kami ke alam mimpi di malam itu meskipun di kamar hostel yang sempit namun nyaman.
Pagi hari seperti biasa kami bangun pukul 03.30 waktu lokal atau 04.30 WIB.  Saya hanya membayangkan pada jam begini kalau di tanah air kita dibangunkan oleh berkumandangnya adzan Subuh dari banyak masjid yang ada di sekitar rumah.   Namun di sini serba sunyi senyap, bahkan suara kendaraanpun tidak terdengar. Pada pagi itu, saya menjadi ingat karena ada satu tempat yang telah direncanakan untuk dikunjungi, namun belum terlaksana.   Tempat wisata tersebut adalah Avenue of Star, yang sebenarnya hanya perjalanan kurang dari 10 menit dari hostel dengan jalan kaki.  Tempat wisata ini merupakan wilayah pantai, dimana dari sana kita bisa melihat pemandangan  indah berupa deretan gedung-gedung tinggi  menjulang langit di Hongkong Island.  Sepanjang Avenue of Star terdapat jejak tapak tangan para artis film Hongkong.  Tempat ini sangat cocok untuk menyaksikan Symphony of Light yaitu pertunjukkan sinar laser dari gedung gedung tinggi di wilayah Hongkong Isalnd.  Tidak terlalu lama saya berada di tempat ini, karena masih ada 1 jadwal pada hari terakhir di Hongkong, yaitu mengunjungi Ladies Market, yang konon merupakan pasar murah.  Pada pukul 09.00 kami menuju ke Ladies Market,  dengan menggunakan MTR jurusan Mongkok.  Ladies Market yang terletak Tung Choi Street sangat gampang  ditemukan dengan cara keluar dari stasiun melalui exit D3 di stasiun Mongkok.  Ternyata bahwa kedatangan kami di Ladies Market masih terlalu pagi, karena pasar baru mulai buka pada pukul 11.00.  Pada waktu sepagi itu, kami hanya menyaksikan bagaimana para pedagang mendirikan tenda di sepanjang jalan.  
Toko Indonesia di Jl.Ying Chong Street
Kalau menilik dagangannya, rasanya yang dijual di pasar ini dagangan yang kurang “bright”, sehingga saya agak ragu jangan-jangan yang dijual adalah barang bekas. Sambil menunggu waktu checkout hostel yang direncanakan pada pukul 12.00, kami gunakan untuk jalan-jalan di sekitar Ladies Market.  Ternyata di dekat Ladies Market ada juga pasar yang menjajagakan aneka buah, bunga,  dan makanan di sepanjang Ying Chong Street.  Bahkan di jalan ini kami menjumpai toko Indonesia (Indo Land) yang ternyata barang dagangannyapun mirip dengan barang-barang Indonesia, seperti supermi, indomi, obat-obatan semacam minyak kayu putih, vick inhaler dan sebagainya.
Kami meninggalkan Ladies Market pada pukul 10.00 untuk kembali ke hotel, karena tadi sudah berjanji bahwa kami akan check out pukul 12.00.   Sambil menunggu waktu check out, kami memasak nasi untuk makan siang, mengingat akan menempuh perjalanan yang lumayan jauh.  Pada pukul 12.00 kami check out dari hostel menuju ke TST East station untuk naik MTR menuju ke Hunghom stasiun.  Bagaimana perjalanan kami ke Shenzhen dan apa yang terjadi disana, cerita ini bersambung ke Wisata Macau, Hongkong, dan Shenzhen bagian ke 3).